gateway, lukisan citra yuga, pameran citra yuga, lukisan kun adnyana
I Wayan “Kun” Adnyana, "Gateway", 160x200 cm, ink & acrylic on canvas, 2017. (Foto: Silvia Galikano)

Dosen seni Institut Seni Indonesia Denpasar, I Wayan “Kun” Adnyana, baru saja menggelar pameran tunggal bertajuk Citra Yuga di Bentara Budaya Jakarta. Pameran tunggal Kun yang berlangsung 1-8 Agustus 2017 ini merupakan bagian hasil penelitiannya tentang ikonografi kepahlawanan relief Yeh Pulu, di samping jurnal ilmiah dan buku.

Pada dasarnya, penelitian yang dilakukan Kun memang merupakan penelitian akademik. Ajuan risetnya menjadi pemenang kompetisi Skim Penelitian, Penciptaan, dan Penyajian Seni P3S 2017 yang diadakan Kemenristek Dikti melalui Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM). Proposal Kun mengungguli pesaing-pesaing dari dosen-dosen perguruan tinggi lain.

I Wayan “Kun” Adnyana mengamati relief-relief yang ada di pura Yeh Pulu, desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Disinyalir, relief yang membentang sepanjang 25 meter dan tinggi 2 meter ini dibuat pada abad ke-14, namun Kun meyakini pahatan-pahatan tersebut sudah ada lebih lama lagi.

“Karena relief ini tidak menampilkan mitos-mitos seperti relief lain yang dibangun di masa itu. Relief ini menampilkan keseharian orang-orang biasa, seperti penjinjing tuak dan pemburu babi hutan,” terang Kun.

Pameran tunggal Kun Adnyana,
Pameran tunggal Kun Adnyana, “Citra Yuga”, di Bentara Budaya Jakarta, 1-8 Agustus 2017. (Foto: Silvia Galikano)

Dari amatan di lokasi, Kun memetakan lima keunggulan relief yang notabene kurang dikenal ini; pahatannya yang kasar, pola figurasinya yang lebih realistik ketimbang figurasi wayang atau sejenisnya, ornamen yang tidak dekoratif melainkan naturalistik, keberadaan plot internal dan eksternal, serta tema-tema aktivitas sehari-hari yang sudah disebutkan tadi.

Dari amatan tersebut, Kun mencari pendekatan artistik untuk mengemas relief Yeh Pulu ke dalam lukisan-lukisan yang akhirnya dipamerkan di pameran Citra Yuga. “Saya tidak bisa melukis ulang begitu saja relief-relief ini, karena tujuan saya itu membuat memori baru tentang artefak sejarah untuk menghapus kesenjangan pengetahuan antara generasi masa lalu dengan generasi sekarang. Kalau saya pindahkan saja gambar-gambar di relief, tidak akan menarik bagi generasi sekarang.”

Akhirnya, ia menemukan lima cara: cutting (membayangkan relief sebagai poster yang bisa ia gunting bagiannya), drawing (menggambar garis-garis), coloring (mewarnainya agar lebih menarik), smashing (membuat relief-relief tersebut seperti terpecah), dan highlighting (menentukan fokus yang ingin ditonjolkan di kanvas).

Di lukisan I Wayan “Kun” Adnyana, kelima teknik ini dipadukan dengan kemunculan sosok-sosok khas karya Kun yang berotot, panjang, dan tidak berwajah. Semuanya kelihatan melayang dengan latar yang luas. Putu Fajar Arcana, dalam kuratorialnya, menyebut latar pada lukisan-lukisan Kun yang dikerjakan di awal sebagai kosmos.

“Artinya ini berbalik dari logika kelaziman mengecat latar belakang (walau ruang kosmos tadi pada beberapa bagian terkesan sebagai latar belakang, namun sesungguhnya juga bisa berfungsi sebagai latar depan) yang secara proses selalu paling akhir. Ini proses yang unik. Terlebih ruang kosmos itu diperoleh dari berlapis-lapis warna yang padat, kadang gradatif, dan meruang,” tulisnya.

I Wayan “Kun” Adnyana dan lukisan
I Wayan “Kun” Adnyana dan lukisan “Forward to the Past”. (Foto: Rizaldy Yusuf)

Lukisan dalam pameran Citra Yuga ini jadi tampak kontemporer, antara yang arkais dan yang kini berpadu, antara yang abstrak dan yang realis menyatu, relief yang timbul dilukis rata. Lukisan-lukisan Kun, sekalipun dihasilkan dari penelitian yang patuh metodologis, menjadi penuh main-main.

Sayangnya, pameran ini hanya berlangsung seminggu. Padahal jika melihat latar belakang terjadinya pameran ini, visi edukasi, nilai-nilai budaya, juga sejarah di belakangnya, pameran ini patut diselenggarakan lebih lama. Begitu pula dengan kelanjutan penyimpanan lukisan-lukisan di pameran Citra Yuga.

Bukankah sia-sia belaka riset seorang akademisi merangkap seniman ini jika pada akhirnya karyanya hanya tersimpan tanpa pernah menjangkau publik lebih luas?

Kiranya, pihak Kemenristek Dikti perlu berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk menginisiasi keberlanjutan hasil proyek yang diadakan ini. Sehingga, penyebaran pengetahuan yang sejatinya manfaat sebuah penelitian, serta dukungan terhadap seni rupa Indonesia, bisa dimaksimalkan.

Apalagi, I Wayan “Kun” Adnyana sudah membuat rencana akan mengembangkan penelitian dan pembuatan karya dari relief Yeh Pulu ini. Maka, bolehlah kita berharap, Citra Yuga kedua dan ketiga, akan memperkaya bukan hanya pengalaman kita mengapresiasi karya seni rupa, tapi juga wawasan sejarah yang kita punya.