Rabendra Yudistira, "Hening Gempita", uk 57x57, cetak digital di atas kain. (Istimewa)

Hening Purnamawati adalah perupa yang dikenal lewat karya-karyanya yang bercorak surealisme. Walau telah tiada, aktivitas berkesenian dan karya-karya yang diciptakannya akan dikenang sepanjang masa.

Setiap seniman adalah buku yang tidak akan habis dibaca dan dibicarakan. Ungkapan ini barangkali tepat untuk menggambarkan sosok Hening Purnamawati. Dia adalah sedikit dari perupa perempuan Indonesia yang dikenal lewat  pengembaraan imaginasinya dan banyak tertuang dalam karya-karyanya.

Perupa kelahiran Cimahi Jawa Barat, 3 September 1960 ini, setelah menamatkan pendidikan di STSRI “ASRI” Yogyakarta pada 1987, langsung hijrah ke Surabaya dan memulai membangun karier di sana. Kehadiran karyanya di dunia seni rupa bersamaan dengan tren seni lukis bercorak surealistik yang sedang mengemuka pada akhir 1980-an. Hening juga terbawa arus  genre tersebut.

Namun menurut Djuli Djatiprambudi, seorang akademisi dan pengamat seni, dalam wawancaranya dengan Hening pada 2003, Hening sempat mengungkapkan, “Rasanya di gaya surealis cocok untuk menampung imajinasiku yang sering melompat ke dunia khayal. Dunia itu sering hadir di alam bawah sadarku, yang aku sendiri sulit melogikakannya, tetapi aku sendiri tidak mengerti apakah lukisanku termasuk surealis atau tidak.”

Selama ini Hening dikenang sangat piawai dalam mengolah bentuk-bentuk figur manusia, hewan, tumbuhan, dan alam saling kait mengkait. Bentuk olahan itu kadang menyerupai sulur, ada yang panjang, meliuk-liuk, bahkan tak berujung, dan bisa jadi sangat rumit, pelik, dan penuh misteri. Hening seakan mengajak penikmat karyanya memasuki belantara imajinatif dan membiarkan penikmatnya untuk mereguk nilai-nilai di balik narasi visual karyanya yang terkadang bernada satire atas persoalan-persoalan sosial, politik, persoalan personal, dan terkadang menawarkan  nilai nilai perenungan religi.

Berkat kecakapan teknik dan kepiawaiannya mengolah pokok perupaan yang bernuansa imaginatif dalam karya-karyanya, Hening  telah meraih sejumlah penghargaan dari kompetisi bergengsi yang diselenggarakan di negeri ini. Karyanya terpilih untuk 10 karya terbaik pada ajang kompetisi Philip Morris Indonesia Art Award pada 1996 dan terpilih untuk lima karya terbaik pada 1996. Dari Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata pada 2003 Hening meraih penghargaan sebagai Perupa Kreatif. Dan karena turut berjasa dalam mengembangkan iklim berkesenian di Jawa Timur ia dinobatkan sebagai Perupa Wanita Berdedikasi se-Jatim pada tahun yang sama.

Menjelang usianya yang ke-57, Hening berpulang. Demi mengenang dan menghargai sosok Hening yang turut mewarnai dinamika berkesenian di Jawa Timur, atas inisiasi Ivan Hariyanto bersama Djuli Djatiprambudi, Henry Nurcahyo dan Agus Koecing menyelenggarakan pameran bertajuk “Menyapa Sang Hening” pada 7-17 Oktober 2017.

Chrysanti Angge,
Chrysanti Angge, “Harapan”, 57×57 cm, aluminium,2014. (Istimewa)

Memanfaatkan dua lantai Gallery Orasis Surabaya, 57 perupa lintas generasi dari Surabaya menyajikan beragam karya. Mulai patung, instalasi, drawing, grafis, hingga dominasi lukisan berukuran 57x57cm sebagai penanda berpulangnya Hening dalam usia 57 tahun. Mereka juga menyediakan  ruang khusus  yang diberi nama Sudut Hening, berisi beberapa karya Hening yang dipinjam dari sejumlah kolektor.

Menurut Ivan Hariyanto, 57 peserta yang terlibat dalam pameran ini dipilih berdasarkan capaian artistik dan giatnya mereka berpameran, baik pameran tunggal maupun bersama. Mereka berasal dari sejumlah komunitas yang ada di Surabaya dan perseorangan. Peserta adalah komunitas AKSERA (Makhfoed), HIPBAYA (Ivan Hariyanto, Anang Timoer, Andhi L Hamdan, Cak Kandar, SukarnoMS), HIPSURA (Salamun Kaulam), SANGKAKALA (Setyoko, Kris AW), IKIP Seni Rupa/UNESA (Ika Ismudyawati, Dwi Hadiah, Djuli Djatiprambudi, Winarno, Chrysanti Angge, Woro Indah Lestari), SERBUK KAYU (Dian Condro, Bayu Edi  Iswoyo).

Juga ada Forum Perupa Pemuda Surabaya (Amdo Brada, Andri Setiawan, Her Roesmadhi), STKW (Agung Tato, Agus Koecink), STSRI ASRI/ISI (Hari Yong Condro, Santoso), ITS DESPRO (Ramok Lakoro, Dhani Sancok, Wahyu Hadi, Kabendra Yudistira), Jatim Art Now (Aucky Hinting, Arifin Petruk), KOPERJATI (Muit Arsa, Saiful Mujib, Syamduro, Sochib Munajad,Wadji MS), DKJT (Taufik Monyong), SMSR Surabaya (Farid Ma’ruf, Widji Utomo, Putri Setyowati, Jopram), DANGEROUS (Icha Dechapoe).

Peserta perorangan antara lain Asri Nugroho, Lini Natalini, Tri Wahono, Erwin Budianto, Andi Prayitno, Welldo W, Dukan Wahyudi, Alfan Akbar, Fauzi, Khusnul Bahri, Meirza, Joko Sulistyo, Bayu Saputro, Nasril Layun, Nunung Bachtiar, dan Hamid Nabhan. Masing–masing peserta diberi kebebasan untuk menggali dan mengeksplorasi sisi kehidupan Hening, pergaulannya, dan proses kreativitasnya.

Cak Kandar, seniman yang selama ini dikenal lewat karya-karya yang menggunakan bulu-bulu ayam sebagai mediumnya, menyuguhkan  lukisan bertajuk Menyapa Sang Hening. Mengapropiasi dan menjajarkan dua karya Hening bertajuk Transformer dan Ingin Ke Langit, sedang di tengah lukisannya menghadirkan salib dan hati melayang di alam dengan bunga-bunga di tepiannya. Cak Kandar seakan mengkabarkan bahwa sosok Hening dengan karya-karyanya senantiasa menebarkan nilai-nilai keindahan dan kebajikan lewat pengembaraan imajinasinya.

Agus Koecink, seniman yang selama ini sering berpameran di dalam dan luar negeri dan sempat menjalani residensi di Museum De Rouen Perancis, mengusung pokok perupaan figur-figur perempuan yang bercandaria dengan ikan, burung-burung, serta bunga dan sulur-sulur tetumbuhan  yang dikerjakan dengan gaya naif dekoratif dalam karyanya bertajuk Spirit Of Hening. Di sini sepertinya Koecink cenderung memotret kehidupan keseharian Hening yang penuh diwarnai dengan pancaran nilai cinta dan kasih sayang terhadap binatang, tetumbuhan, dan alam sekitar.

Jopram,
Jopram, “Hening Purnama”, uk 57×57 cm, ballpoint and acrylic on canvas. (Istimewa)

Ivan Hariyanto, seniman yang selama ini dikenal sebagai penggerak Himpunan Perupa Surabaya (HIPBAYA), komunitas tempat Hening dan Rilantono suaminya sempat bergabung, menghadirkan karya bertajuk The Silence Of My City  yang dikerjakan dengan teknik foto-realis. Suasana kota metropolitan yang biasanya diwarnai ingar bingar lalu lalang kendaraan dan aktivitas manusia, oleh Ivan dihadirkan dalam suasana lengang, hanya tampak mobil yang berhenti di depan hamparan luas pelataran rumah. Sementara itu di sekitar roda mobil bertebaran bunga setaman, mengisyarakan duka, bahwa manusia hanya sejenak menjalani kehidupan di dunia ini. Yang tersisa dan terkenang hanyalah jejak-jejak yang ditinggalkan selama manusia menjalani kehidupannya.

Berbalik dengan karya Rabendra Yudistira yang bertajuk Hening Gempita dengan gaya pop surealismenya menghadirkan suasana gegap gempita manusia berkostum dan bertopeng merayakan pesta. Rabendra seakan memperolok-olok perilaku manusia di dunia yang dipenuhi dengan kepalsuan dan kemunafikan.

Jopram mengekspresikan kekagumannya terhadap Hening yang senatiasa menebarkan keindahan lewat karya bertajuk Hening “Purnama”. Goresan bolpoinnya menghadirkan potret diri dengan posisi tangan menutupi wajah, sementara dari celah tangannya tampak kepala kucing dengan sorot matanya. Sementara itu pada bagian belakang gambarnya tampak rembulan  dan perempuan berkebaya yang menjulur jauh, sedang memangku kucing di satu tangan dan memegang  bunga di tangan satunya.

Sementara itu  Dian Condro dalam karya bertajuk Memory Of Me  menghadirkan kain biru bermotifkan bunga, yang dari robekannya terlihat lukisan yang ditimpali teks-teks. Ini semacam kekaguman Condro terhadap sosok Hening yang lewat keindahan misteri karya-karyanya senantiasa tersirat nilai-nilai kebajikan.

Welldo W. dalam karyanya bertajuk Tarian Sang Hening lebih menyoroti sosok Hening yang lewat kebebasan imajinasinya dalam  berkarya senantiasa menyuarakan kejujuran. Sedangkan Makhfoed yang selama ini lebih banyak menyuguhkan citraan bentuk-bentuk biomorfis dalam karya-karyanya, menghadirkan karya bertajuk Berpulangnya Sang Bunga sebagai ungkapan renungan akan sosok Hening yang dikenalnya. Hal sama terdapat dalam karya Salamun Kaulam  Duka dan Doa sebagai kenangan akan sosok Hening dengan dunia khayalnya.

Setidaknya lewat pameran bersama 57 seniman lintas generasi, seperti yang digambarkan Chrysanti Angge dalam karya bertajuk Harapan yang menghadirkan citraan bunga bersulur-sulur, karya-karya yang disajikan bisa menginspirasi dan menggugah pemirsa untuk senantiasa menebarkan keindahan dalam kehidupan ini. Dan Hening barangkali bisa tersenyum bahagia di alam sana menyaksikan gairah teman-teman perupa yang terus berkarya dan ada harapan kelak bisa melampaui jejak-jejak yang ditinggalkannya.

Artikel Senandung  Alam Imajiner Sang Hening dimuat di majalah SARASVATI edisi Oktober 2017.