BBBIMG_4544 - Copy

Raga tak lagi bisa menyimpan ruh itu, karena ruh itu kini meneruskan perjalanannya menuju keabadian.

Dedy Lutan, koreografer kelahiran Jakarta, 25 April 1951 itu telah meninggal dunia pada Kamis, 10 Juli 2014 sekitar pukul 16.00 WIB di rumahnya yang terletak di daerah Kebagusan, Jakarta Selatan. Sebuah kehilangan yang tak hanya dirasakan oleh keluarga, kerabat, dan teman-temannya, namun bagi dunia tari Indonesia.

Meski kepergian Dedy ini merupakan kehilangan besar, namun melihat perjuangannya bertahan dari stroke dan tumor yang baru diketahui belakangan, mungkin memang jalan terbaik adalah merelakan koreografer berdarah Minang ini untuk meneruskan perjalanannya.

Ya, perjalanan. Kematian bukanlah akhir dari seorang Dedy Lutan yang kini dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Apalagi ketika kita mengingat nama yang pernah diberikan kepadanya oleh Kepala Suku Dayak Kenyah dan Modang pada 1974.

“Saya lupa nama pemberian saya, tapi saya masih ingat artinya, yaitu orang yang suka bertualang sambil belajar,” kata pemilik nama lengkap

Hendrawanto Pandji Akbar. Ia diangkat anak oleh kepala suku karena sebagai pendatang, ia memiliki sikap berbeda – mau tinggal dan bersedia makan dan minum di rumah mereka – suatu kebiasaan yang tak pernah dilakukan orang yang bukan Suku Dayak.

Kedekatan Dedy Lutan pada Suku Dayak inilah yang sebulan sebelum meninggalnya, mengantarkannya meraih gelar Doktor di bidang penciptaan karya dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Di karya bertajuk Hutan Pasir Sunyi itu, Dedy mengangkat masalah lingkungan yang dialami hutan Kersik Luway di Kutai Barat. Karena kesehatannya yang makin menurun setelah stroke yang dialaminya, Dedy mementaskan karya itu di Kebun Raya Bogor pada 13 Mei 2014. Rencana awal, ia sebenarnya ingin mementaskannya di Kutai.

Sebagai koreografer, Dedy memiliki ciri khas dan pendekatan yang membedakannya dengan koreografer lainnya. Ia kerap menciptakan karya yang bersifat antropologis. Ia mengangkat karya dari masyarakat-masyarakat tradisi misalnya Sumbawa, Asmat, Dani, Using di Banyuwangi, hingga Bugis.

Di masyarakat-masyarakat tradisi ini, Dedy tak hanya menjadi pengamat, namun ia juga mempelajari tarian tradisi mereka. Pada 1959 ia telah belajar tari Jawa gaya Yogyakarta pada Tjondrolukito dan tari Jawa gaya Surakarta dari Sampan Hismanto pada 1966-1969. Tarian Melayu ia pelajari dari Syaffio Koto pada 1956-1961 dan kemudian menjadi guru tari Melayu di grup tari Tiara Nusa yang ia dirikan pada 1971-1975. Dedy juga mempelajari tari topeng Bali dan Legong Keraton dari I Nyoman Rindhi pada 1973.

Setahun kemudian, Dedy banyak mempelajari tari tradisi dari sejumlah perjalanannya ke berbagai daerah. Dari Gandrung Banyuwangi, tari tradisi Nias di desar Bawomataluo Nias Selatan, tari tradisi Batak di Desa Harian Bobo-Pangururan, tari tradisi Dayak Modang dari Jiu Ping Lak, Bit Beng, dan Heng Deu Bau, tari tradisi Dayak Kenyah dari Taman Surang, Taman Lerin, dan Amai Peding, dan tari Alang Sunting Pangulu di Padang Laweh, Kabupaten Agam, Sumatra Barat.

Jadi wajar jika kemudian kita melihat karya-karya tari Dedy berangkat dari pengolahan narasi dan gerak tradisi. Misalnya karya Rijok Sendawar (2002), Rijok Pasir Sunyi (2004), dan Sektau Matahari di Ufuk Timur (2005) yang diangkat dari tradisi Dayak, Sailun Selimbai (2004) yang terinspirasi dari kesenian Melayu, dan Gandrung Engtay (2011) dari kesenian Banyuwangi. Karya-karya itu kini menjadi kenangan sekaligus warisan yang mengabadikan perjalanan hidup Dedy Lutan.