Seniman Hanafi menggelar pameran tunggal untuk memperingati 350 tahun Traktat Breda.  Pameran berjuluk “The Maritime Spice Road” (Jalur Rempah Maritim) digelar pada 23 April hingga 23 Mei 2017 di Konsulat Jenderal (Konjen) RI di New York, AS.

Pameran yang didukung Konjen RI dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tersebut akan memvisualkan Pulau Run berikut kesibukan jalur rempah pada awal abad ke-17 yang dituangkan dalam lukisan dan instalasi.

“Kapal-kapal kargo berdatangan melalui jalur rempah yang memanjang dari Asia ke Eropa. Kesibukan jalur rempah pada akhirnya mengubah peta politik dan perdagangan dunia,” ujar Hanafi seperti tertulis dalam rilis yang diterima Sarasvati.

Run (Rhun) yang sepi dan terpencil di Kepulauan Banda-Maluku menjadi objek persaingan dua imperium besar pada awal abad ke-17,  VOC (Belanda) dan EIC (Inggris). Pulau ini memiliki harta rempah yang berharga, yaitu pala (Myristica fragrans) yang nilainya bahkan lebih mahal dari emas.

Pala adalah kemewahan yang paling diidamkan di Eropa pada masa tersebut. Pala diperebutkan melalui ekspedisi pelayaran yang panjang hingga perebutan ruang melalui berbagai siasat perang.

Berdasarkan Perjanjian Breda 24 Januari 1667 yang disepakati Inggris dan Belanda, Run diserahkan kepada Belanda, dan Inggris mendapatkan Pulau Manhattan di Nieuw Amsterdam (sekarang New York).

“The Maritime Spice Road” adalah pameran kedua Hanafi yang mengangkat tema rempah-rempah setelah “When the Portuguese and the Spanish Left: Story of the Spices” pada 7-18 Mei 2016 di Institute of Hispanic of Houston- Texas USA. Pameran pertama di Texas mendapat apresiasi bagus sehingga Konjen RI di New York kembali mengundang Hanafi untuk mengadakan pameran tahun ini.

Bersama Budi Kurniawan, sineas Aroma of Heaven, dan para seniman Maluku, Hanafi melakukan riset ke pulau Run dan Banda Neira pada awal April 2017. Hasil risetnya melahirkan beberapa lukisan, sketsa, dan  video dokumenter.

Hingga saat ini, ujar Hanafi, keraguan masih memenuhi dirinya tentang apakah sejarah panjang perebutan rempah dari era kolonial masih terus berlanjut? Pasalnya walau Indonesia sudah lebih dari tujuh dekade merdeka tetap saja dibayangi kolonialisme gaya baru.

Menurutnya, kopi menjadi komoditas yang diperebutkan saat ini dengan strategi yang baru. Tidak ada perang serupa rempah di kepulauan Banda, namun petani kopi sejak abad ke-18 yang menyebar dari Aceh sampai ujung Flores masih juga berdiam dalam permainan harga.

“Barangkali kargo-kargo masih terus berlayar diam-diam dari pelabuhan Ende mengangkut java coffee yang lezat, berlayar di jalur rempah yang sama dalam sepotong sejarah yang berbeda. Kargo-kargo tahu, ia sedang berlayar di laut yang sama.”