Darbotz dan BMW di ICAD
Darbotz berkolaborasi dengan BMW Indonesia pada ICAD 2017 bertema "Murni", di Grand Kemang, Jakarta. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Jika karya mural Eko Nugroho menyambut masyarakat di Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan dalam gelaran ICAD tahun lalu, tahun ini karya mural The Popo dan mobil BMW i8 yang telah dimural oleh Darbotz menghiasi wajah hotel grandkemang. Indonesia Contemporary Art and Design (ICAD) kali ini digelar pada 4 Oktober – 15 November 2017.

Dikuratori Harry Purwanto dan Bambang ‘Toko’ Witjaksono, tema sekaligus judul pameran yang diangkat untuk tahun ke-8 ICAD adalah “Murni?”.

Ada alasan dibubuhkannya tanda tanya di belakang, yakni pertanyaan kepada para pelaku kreatif tentang bagaimana cara memvisualkan “murni” ke dalam bentuk karya. “‘Murni’ perlu dikolaborasikan dengan hal lain untuk menjadi sempurna,” ujar Harry.

Baca juga Sebuah Perayaan untuk yang Mati

Selain itu, pameran ini juga mempertanyakan “murni” yang membedakan seni murni dan seni terapan. Dengan memberikan kebebasan untuk mendefinisikan “murni”, para pelaku kreatif dapat menggali kesadaran untuk memahami dan jujur terhadap diri sendiri.

Pemilihan pelaku kreatif, terutama untuk bidang seni rupa, Bambang Toko dibantu dengan rekomendasi Asmudjo J. Irianto dan kurator ICAD 2016 Hafiz Rancajale. “Pemilihan seniman tidak hanya berdasarkan karya yang telah dikerjakan, tetapi juga adanya kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditampilkan oleh seniman tersebut,” ujar Bambang.

Jumlah pelaku kreatif yang berpartisipasi pada ICAD 8 “Murni?” melonjak cukup banyak, dari tahun lalu yang tujuh, kini mencapai 50 pelaku kreatif. Jumlah partisipan yang besar ini jadi mengkhawatirkan, mengingat keterbatasan area pameran, ditambah lagi dengan prosedur keamanan hotel yang memberi pembatasan pada beberapa hal, termasuk penempatan dan instalasi karya.

Oky Rey Montha di ICAD
Oky Rey Montha, “Pilgrimage of Definition”, 150×450 cm, Carving, pyrography, drawing, painting and stencil on cow leather sheet, 2017. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Alhasil, lobby hotel grandkemang tampak padat dengan 50 karya yang memiliki ukuran relatif besar. Hal ini mempengaruhi kenyamanan pengunjung ketika melihat dan mengamati karya.

Contohnya karya seniman Patricia Untario yang terletak di dekat pintu masuk hotel memiliki jarak yang relatif cukup dekat dengan karya aktor Reza Rahadian. Ada baiknya jika kurator memperhatikan besarnya ruang pameran yang disediakan dengan banyaknya seniman yang dipilih dan besar karya yang akan dipamerkan.

Di samping kepadatan ruang pamer, variasi karya yang ditampilkan tentunya menarik, mengingat 50 pelaku kreatif ini memiliki latar belakang yang berbeda-beda, dari seniman, illustrator, desainer busana, desainer interior, desainer produk, hingga sutradara dan aktor. Ditantang dengan tema “murni”, para pelaku kreatif ini menciptakan pendekatan yang menarik sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Baca juga Menjelajahi Perpanjangan Tubuh Nirwan Dewanto

Contohnya, desainer produk Denny R. Priyatna dengan karyanya bertajuk Appalstered (Appalling + Upholstered Furniture). Pada exhibition statement-nya tertulis, “Dalam dunia desain furnitur modern, prinsip kemurnian mengacu pada penghilangan elemen dekoratif agar berfokus pada performa fungsional.”

Oleh karena itulah Denny justru mengintepretasikan tema “murni” dengan menunjukkan “ketidakmurnian” sebuah benda, dalam hal ini sepasang kursi.

The POPO di ICAD
The POPO, “Kekuasaan dan Kesehatan”, variable dimension, mural, 2017. (Foto: Jacky Rachmansyah)

Satu kursi tampak memiliki benjolan-benjolan seperti jerawat, sedangkan yang satunya lagi tersayat-sayat. Jika sayatan itu “dibuka”, terlihat interior yang menyerupai daging. Kedua furnitur tersebut masih berfungsi sebagai tempat duduk walau memberikan ketidaknyamanan kepada penggunanya, termasuk secara visual.

Di sisi lain, seniman sekaligus illustrator Novemto Komo malah mempertanyakan relasinya dengan “seni murni”. Karena tidak memiliki latar belakang pendidikan seni, Komo ini merasa tidak akrab dengan seni murni dan istilah seni-seni lainnya.

Pada karyanya yang bertajuk Screaming ‘MURNI’, ia mengeksplorasi seni, desain, dan kriya dengan menggunakan berbagai benda temuan (found objects) dan benda bekas. Komo mempertanyakan apakah penggunaan medium atau material yang tidak konvensional menjadi hal yang penting dalam dunia seni murni kontemporer.

Baca juga Menoreh Tafsir, Menggerakkan Legenda

Namun, agak sulit untuk menemukan tema “murni” pada tiap karya yang ditampilkan, bahkan setelah membaca exhibition statement yang dihadirkan di samping karya. Mungkin kebebasan mengintepretasikan tema tidak hanya menjadi kekuatan, tetapi juga kelemahan kuratorial untuk pameran ICAD 8.

Atau mungkin “murni” tiap karya tidak tampak pada hasil akhirnya, melainkan, seperti kata Bambang Toko, “Pemahaman ‘murni’ itu lebih ke arah proses kekaryaan, dengan cara mempertanyakan proses berkesenian itu sendiri.”penutup_small

Artikel Mempertanyakan Murni Pada ICAD 8 dimuat di majalah SARASVATI edisi November 2017.