Detail dari karya Temple of Hope Hit by Bus karya Entang Wiharso
Detail dari karya Temple of Hope Hit by Bus karya Entang Wiharso
Detail dari karya Temple of Hope Hit by Bus karya Entang Wiharso

Isu mengenai identitas dan gagasan orisinalitas telah menjadi isu kuat dalam praktik-praktik wacana masa kini. Inilah yang diangkat Entang Wiharso dalam pameran terbarunya.

Perpindahan manusia antar-regional dan antar-benua telah menjadi sesuatu yang lumrah. Orang dengan mudah masuk dan keluar ke dalam sebuah komunitas budaya yang jauh berbeda, bahkan acap kali bertentangan.

Dukungan komunikasi satu pihak dan putaran ekonomi yang menglobal telah memberikan dorongan orang pada perkara migrasi yang membawa implikasi yang kuat kepada soal identitas dan orisinalitas.

Namun tidak banyak orang dengan tekun dan sadar untuk membicarakan soal itu hingga tuntas, kecuali akademisi yang memang mengambil kajian dimaksud, atau paling tidak merefleksikan interaksi tersebut secara sungguh-sungguh.

Entang Wiharso sedikit dari orang yang merefleksikan situasi tersebut secara serius. Lewat pamerannya bertajuk “Geo-potrait #2” di Galeri Salihara dari 12 Oktober – 11 November 2013, kita bisa melihat bagaimana ia menanggapi tema ini secara serius. Pengertian serius ini tidak saja karena ia peduli pada tema tersebut, melainkan juga secara personal ia menjadi bagian dari interaksi global yang membuat ia meragukan pengertian identitas dan orisinalitas.

Untuk membicarakan tema ini, Entang mempergunakan idiom-idiom tradisi yang membesarkannya sekaligus memberi pengertian akan sebuah identitas yang solid – yaitu Jawa – sehingga ia mengalami apa itu trauma kultural tatkala bertemu atau berhadapan pada situasi dan identitas yang relatif.

Pernikahannya dengan perempuan Amerika Serikat dan bolak-balik bertempat tinggal antara Indonesia dan Amerika Serikat memberi praktik wacana mengenai apa itu identitas dan apa itu orisinalitas. Dengan kata lain, Entang akrab dengan topik itu karena ia adalah bagian langsung dari isu tersebut. Dan inilah yang paling mendasar dari proses kreatif itu.

Seorang pengunjung melihat karya Fake and Real  Live Together Forever, pada pameran tunggal Entang Wiharso bertema Geo-Portrait # 2 di Salihara, Jakarta
Seorang pengunjung melihat karya Fake and Real Live Together Forever, pada pameran tunggal Entang Wiharso bertema Geo-Portrait # 2 di Salihara, Jakarta

Seniman tidak hanya menggarap tema yang tidak dialaminya namun karena ia berada di dalam jantung persoalan itu. Jadi, ketika saat-saat ini wacana seputar identitas ini ramai dibicarakan, Entang adalah bagian penting dari soal yang ia alami secara personal dan dengan tekun menggarapnya dalam karya seni rupa.

Entang dalam pameran ini memamerkan sembilan karyanya. Sebagian besar dari pameran itu ia buat pada 2013. Dari sembilan karya itu Entang menggunakan berbagai media, baik dua dimensi maupun tiga dimensi. Karya-karya itu mengungkapkan situasi traumatik yang menjadi ciri menonjol dari Entang Wiharso.

Karya-karyanya merupakan interogasi dari sebuah isu dan hal itu dieskpresikan secara tuntas dalam media cut out, lukisan, digital print. Entang sendiri mengaku bahwa dengan membuat karya lintas media memberinya berbagai kemungkinan daripada ia hanya menggunakan satu media saja.

Karya  yang paling jelas mengungkapkan pembocoran identitas yang solid itu pada karya Temple of Hope, Hit by a Bus” (2011). Karya ini berupa susunan cetakan grafit dan resin yang membentuk sebuah bangunan rumah sederhana meskipun diberi judul “temple”. Pada dindingnya muncul sosok atau tulisan dari bentukan grafit dan resin, sementara di dalamnya yang kosong digantung benda putih yang barangkali dimaksudkan sebagai jantung.

Benda itu dilengkapi lampu di masing-masing ujungnya. Lampu ini menjadikan bangunan candi yang seakan solid itu tiba-tiba memiliki ruang, rongga luas, dan sublim. Cahaya di dalam bangunan tersebut, menjadikan segala tulisan dan figur di dinding candi berlepasan tak terduga ke dinding sekitarnya tanpa bisa dikendalikan. Segala kesolidan runtuh dan keropos dalam wujud bayangan. Demikianlah sebuah bangunan identitas dan orisinalitas yang pernah dibayangkan kekal dan tidak berubah, pada suatu masa lain menjadi tak lagi sama kondisinya.

Temple of Hope Hit by Bus karya Entang Wiharso
Temple of Hope Hit by Bus karya Entang Wiharso

Begitu juga Entang dalam karya Crush Me (2012-2013). Sebagaimana konsep dalam karya Temple of Hope, Hit by a Bus, Crush Me juga membongkar yang solid dengan cara memberi rongga pada karya itu dan membuyarkannya dengan lampu yang dipasang di dalamnya yang lengkap dengan wujud jantung.

Karya ini berwujud tembok yang biasa didapati di keraton atau rumah ningrat Jawa. Hanya tembok ini tidak dimaksudkan sebagai pembatas tetapi sebagai idiom dari apa yang dimaksudkan sebagai lambang kesolidan itu.

Tembok dalam bangunan keraton Jawa atau bahkan dalam keraton mana pun mewakili batas dan pengekalan dari sebuah identitas dan orisinalitas yang digunakan untuk menopang segala kekuasaan raja terhadap rakyatnya.

Dengan lenyapnya identitas dan orisinalitas, maka lenyap pula segala kewenangan yang melekat padanya. Di mata Entang, pemikiran ini telah mustahil. Identitas telah bocor, meresap ke mana-mana, saling pengaruhi.

Gagasan ini semakin kental dalam lukisan berjudul Reclaim Paradise (2013). Lukisan berukuran 300×600 cm ini mengungkapkan adanya kebingungan merumuskan kejelasan identitas dan orisinalitas. Alih-alih mengukuhkannya, karya ini justru meragukan figur-figur dalam karya apakah saling terkait satu sama lain atau tidak.

Secara lebih konkret lagi, Entang membuat karya cetak digital yang diberi judul The Family Potrait (2012). Figur-figur pada karya ini menurut kurator Nirwan Dewanto menjelma dalam karya-karya cut out seperti pada karya After the Agreement: Bordeless #1 (2013), lalu After the Agreement: Bordeless #2,  dan After the Agreement: Bordeless #3.

Dalam pameran ini tampak Entang dengan konsisten menggunakan kekhasan karya-karyanya semenjak tahun 1990-an ketika ia menanggapi rezim Orba dan kini ia gunakan untuk menampilkan tema migrasi yang dialaminya secara langsung.

Entang Wiharso
Entang Wiharso