Sineas Nia Dinata (kiri) dan kurator film di Europalia Indonesia Nan T. Achnas. (Foto: Silvia Galikano)

Film laga kolosal klasik Indonesia, Saur Sepuh: Satria Madangkara (1988) akan diputar di Festival Seni Europalia Indonesia di Vendome, Brussels, Belgia pada Januari 2018. Film besutan Imam Tantowi itu akan menjadi satu-satunya film dari kategori action.

Ihwal diputarnya Saur Sepuh menurut kurator film Europalia Indonesia Nan Triveni Achnas, karena film bertema silat Indonesia, seperti The Raid (2011) dan The Raid 2 (2014) telah memukau masyarakat internasional. “Hal ini mengundang keingintahuan tentang bagaimana film silat lama kita,” ujar Nan saat Kick-off Jelang Pembukaan Festival Seni Europalia Indonesia, 3 Oktober 2017 di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta.

Baca juga Karya Seniman Indonesia Tampil di Europalia 2017.

Saur Sepuh yang akan diputar adalah hasil restorasi dan digitalisasi. Film-film silat Indonesia lain, yang umumnya film 35 mm, sudah hancur dan tak dapat didigitalkan akibat penyimpanan yang tidak memenuhi syarat. Restorasi dan digitalisasi dilakukan Flik, saluran televisi yang muncul di layanan internet dan televisi IndiHome. Lavesh Samtani, pemilik Flik nanti juga akan berbicara di Europalia tentang pentingnya pengarsipan film.

Europalia adalah festival seni yang berfokus pada satu budaya dalam bentuk program komprehensif, yakni di bidang musik, seni murni, fotografi, film, teater, tari, sastra, arsitektur, desain, fesyen, dan gastronomi. Yang ditampilkan mesti bertumpu pada empat pilar, yakni leluhur (heritage), kekinian (contemporary), penciptaan (creations), dan pertukaran (exchange). Tujuannya membangun jaringan kerja internasional dan menciptakan kerjasama para seniman, kurator, koordinator dari Eropa dan negara tamu dengan mengangkat konsep “lintas batas (cross border)”.

Europalia kali ini akan menjadi festival ke-26 terhitung sejak 1969 dan menjadi yang ke-4 yang didedikasikan untuk negara-negara di Asia. Indonesia menjadi negara tamu Europalia 2017.

Poster film
Poster film “Saur Sepuh”. (Istimewa)

Festival Seni Europalia Indonesia akan berlangsung 104 hari, dari 10 Oktober 2017 hingga 21 Januari 2018. Dibuka Raja Belgia Philippe Leopold Louis Marie dan dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla. Festival ini melibatkan 486 pekerja seni dalam pelaksanaan 226 program acara di beberapa kota di Belgia dan enam negara Eropa lain, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Austria, Prancis, dan Polandia.

Indonesia akan menampilkan film-film bertema sosial, remaja urban, anak-anak, arthouse, religi, perempuan, seksualitas, kuliner, politik, action, dan art cinema. Nan T. Achnas mengkategorikan film-film yang akan ditayangkan sebagai new Indonesian cinema, yakni film-film yang dibuat sesudah 1998, dan ternyata banyak disutradarai dan diproduseri perempuan.

Karena belum banyak yang memformulasikan new Indonesian cinema, nanti akan digelar pula diskusi tentang  hal ini oleh Budi Irawanto, dosen Fisipol UGM yang telah menerbitkan buku tentang film Indonesia berjudul Film, Ideologi, dan Militer (1999).

Sedangkan kriteria utama film yang dibawa ke Europalia adalah pernah menang atau pernah tayang di festival seni internasional.

Baca juga Naskah Kuno Batak dan Korwar Papua Bersiap ke Europalia 2017.

Sineas Nia Dinata yang hadir di Kick-Off menyebutkan tiga filmnya akan diputar di Europalia, yakni Tana Mama, Pertaruhan, dan Berbagi Suami. Di dua film pertama yang merupakan dokumenter, Nia bertindak sebagai produser. Sedangkan di Berbagi Suami, dia menjadi sutradara sekaligus penulis naskah.

Ini merupakan kali kedua Berbagi Suami (2006) tayang di depan masyarakat Belgia. Pada 2007, film yang dibintangi Jajang C. Noer, Shanty, dan Dominique Diyose itu diputar di Brussels International Independent Film Festival yang menobatkan Nia Dinata sebagai Best Director.

Film yang mengangkat ide besar tentang poligami tersebut sedikit-banyak menyodorkan wajah Islam di Indonesia yang tak dapat disamakan dengan negara-negara Islam lainnya. Penonton Belgia, ujar Nia, melihat sesuatu yang positif, bahwa kita masyarakat yang matang (mature) sebab bisa kritis terhadap dogma.

“Dari 2007 ke 2018 itu kan rentangnya jauh, 11 tahun. Saya ingin tahu, bagaimana reaksi penonton sekarang melihat film tersebut,” ujar Nia.

Grup musik Flower Girls akan membawakan lagu-lagu Dara Puspita di Europalia. (Foto: Silvia Galikano)
Grup musik Flower Girls akan membawakan lagu-lagu Dara Puspita di Europalia. (Foto: Silvia Galikano)

Berbagi Suami adalah satu dari sebelas film bertema perempuan. Sepuluh lainnya adalah Perempuan Punya Cerita (2008), Siti (2014), Pingitan (2013), Athirah (2016), Calalai (2015), About a Woman (2014), Sendiri Diana Sendiri (2015), Tana Mama (2015), Memoria (2016), dan Tiga Dara (1957).

Tema lain yang akan ditayangkan adalah sosial, diwakili film Puisi Tak Terkuburkan (2000), It’s Not Outside (2009), Negeri di Bawah Kabut (2011), Nokas (2016), Sang Penari (2015), dan Serpong (2015).

Baca juga Harmoni Keragaman Europalia Indonesia.

Tema remaja urban (urban youth) ada dua film, yakni Kuldesak (1999) dan A Copy of My Mind (2015). Sedangkan yang bertema anak-anak ada lima, yakni Laskar Pelangi (2008), Sang Pemimpi (2009), Jermal (2008), Salawaku (2016), dan Atambua 39° Celsius (2012).

Untuk tema arthouse ada dua film, yakni Opera Jawa (2006) dan Postcard from The Zoo (2012). Sementara tema religi ada tujuh film, yakni 3 Doa 3 Cinta (2008), Tanda Tanya (2011), Lewat Sepertiga Malam (2014), Mencari Hilal (2015), Maryam (2014), Generasi Biru (2009), dan Bangkit dari Bayangan (2016).

Tema seksualitas memiliki lima film, yaitu Lovely Man (2010), The Fox Exploits the Tiger’s Might (2015), Fiksi (2008), Selamat Pagi Malam (2014), dan Pertaruhan (2008). Sedangkan tema kuliner (food) ada tiga film, yakni Tabula Rasa (2014), Cita-citaku Setinggi Tanah (2012), dan Banda (2017).

Tema politik memiliki tujuh film, yakni Istirahatlah Kata-kata (2016), Bangkit dari Bisu (2016), Setelah 15 Tahun (2013), Saudara dalam Sejarah (2015), Atheis (1974), On The Origin of Fear (2016), dan Ziarah (2016). Sedangkan tema art cinema diwakili Expanded Cinema – 8 mm karya Sardono W. Kusumo.