Bicara soal teknik fotografi, tak sedikit fotografer muda saat ini yang mampu menampilkan karya dengan teknik cemerlang. Bukti-bukti atas skill mereka pun kini mudah dijumpai di laman portfolio daring. Di sisi lain, tak jarang kemampuan fotografi mereka tak diimbangi kemauan untuk meriset latar belakang dan sejarah objek fotonya. Hal ini menjadi masalah dalam foto jurnalistik, terlebih ketika para fotografer muda ini ingin mengabadikan karyanya dan mengangkat topik-topik spesifik.

Karenanya, di lokakarya “Photo Story & Multimedia”, Christophe Loviny, wartawan foto spesialis Asia Tenggara, didapuk Institut Prancis di Indonesia (IFI) untuk mementori sepuluh fotografer muda dalam  menyelami praktik riset  dan kinerja profesional fotografer jurnalistik. Kesepuluh peserta lokakarya yang merupakan bagian dari Festival Printemps Français 2016 ini sebelumnya dikurasi oleh Oscar Matuloh, fotografer jurnalisme dan kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara. Para fotografer muda tersebut yakni Dwinda Nur Oceani, Hana Sayyida, Imas Fuji M,  Zulkarnaen Hafidz Mubarak  Rahmad Azhar, Ramjaneo Pasopati, Septianjar Muharam, Yuan Adriles, dan Zulfikar Iqbal.

Kesepuluh fotografer muda ini lalu ditantang selama 7 hari pada 18-24 April 2016 untuk menggarap ide masing-masing menjadi karya photo story multimedia, di mana penggalian referensi, ide, dan pematangan konsep dibabat dalam dua hari pertama, sementara hunting foto dan konsultasi bersama Christophe dilakukan di lima hari terakhir.

Dalam presentasi hasil lokakarya pada Senin malam, 25 April 2016 di Auditorium IFI Thamrin, Jakarta, masing-masing dari peserta rupanya mencoba mengangkat sisi lain dari beragam isu yang selama ini ada di tengah masyarakat.

Hafidz Mubarak, misalnya, menyoal pemasungan yang kerap terjadi pada penyandang disabilitas jiwa dengan mengambil objek photo story di Yayasan Galuh, Rawalumbu, Bekasi. Lewat riset daring dan wawancara langsung dengan para pengurus panti rehabilitasi jiwa ini, Hafidz menemukan tindak pemasungan tidak lagi dipakai sebagai bagian dari rehabilitasi para pasien di sana.

Dalam karyanya, 'No More Pasung', Hafidz Mubarak menampilkan bagaimana hak-hak pasien rehabilitasi jiwa Yayasan Galuh bisa diperhatikan layaknya masyarakat umum, sesederhana hak untuk bermain catur. (Dok. Hafidz Mubarak)
Dalam karyanya, ‘No More Pasung’, Hafidz Mubarak menampilkan bagaimana hak-hak pasien rehabilitasi jiwa Yayasan Galuh bisa diperhatikan layaknya masyarakat umum, sesederhana hak untuk bermain catur. (Dok. Hafidz Mubarak)

Setelah membangun ruang isolasi dan ruang terpisah antara perempuan dan laki-laki, para pasien di Yayasan Galuh bisa beraktivitas sehari-hari seperti orang lainnya—shalat, main catur, ngobrol—tanpa rantai di kaki. Tidak sedikit dari mereka yang dianggap sudah mulai bisa mengontrol diri juga diperbolehkan untuk membantu di dapur. Hanya beberapa dari mereka yang dinilai masih agresif, ditempatkan di ruang isolasi.

Sulitnya komunikasi dengan para pasien demi mendapatkan cerita yang lebih dalam membuat Hafidz memutar strategi dengan mengambil semua gambar aktivitas mereka seharian selama lima hari. “Hari pertama hasilnya nol. Hari kedua saya mulai bisa ngomong sama mereka, tapi nggak dapat apa-apa tentang siapa mereka. Hari ketiga baru saya bisa dapat sedikit-sedikit cerita dari mulut mereka. Mungkin mereka capek juga saya tanya terus tiap hari,’kamu siapa’, ‘kamu dulunya ngapain, ‘kamu ngapain di sini’,” kata Hafidz tertawa.

Dengan gagasan yang dibawanya dalam karya No More Pasung ini, pewarta LKBN Antara ini berharap lebih banyak orang yang terketuk untuk membantu panti-panti rehabilitasi jiwa yang belum mampu membangun fasilitas yang layak. “Dengan demikian, proses rehabilitasi mereka bisa berjalan dengan semestinya tanpa harus lewat pemasungan,” kata Hafidz.

Iskandar, salah satu Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) di Kampung Kusta, Sitanala, Tangerang, dan anaknya. (Dok. Dwinda Nur Oceani)
Iskandar, salah satu Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) di Kampung Kusta, Sitanala, Tangerang, dan anaknya. (Dok. Dwinda Nur Oceani)

Sementara itu dalam karya Never Give Up,Dwinda Nur Oceani menyoroti kehidupan sebuah keluarga di kampung kusta Sitanala, Tangerang. Mahasiswa Jurnalistik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini awalnya mengakrabi isu diskriminasi yang dialami Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) ketika menjadi relawan di sebuah organisasi peduli OYPMK pada 2014.

Dalam karya photo story multimedianya, Dwinda mengambil sisi keseharian Iskandar dan Emi, pasangan OYPMK yang bertemu di rumah sakit, menikah, dan kemudian dikaruniai dua anak laki-laki yang terlahir sehat.  Pasangan ini dikenalnya lewat teman satu kampus yang sedang menyusun skripsi tentang tingkat depresi OYPMK. Berbeda dengan yang dibayangkan orang-orang tentang OYPMK, keluarga Iskandar menerima dengan hangat para tamu yang datang ke rumahnya.

“Diskriminasi itu ada, dan mereka menelannya. Tapi mereka menjalani hidupnya dengan biasa, bahagia. Begitupun yang terpancar ketika mereka menyambut saya dan langsung bercerita banyak hal tentang keluarganya, tidak ada kata mengeluh yang keluar,seperti tidak berjarak” ujar Dwinda.

Kehangatan di tengah anggota keluarga ini rupanya menjadi salah satu tantangan ketika harus ditampilkan dalam sebuah foto. Selama lima hari hunting di kediaman Iskandar, Dwinda harus bolak-balik Tangerang-Pasar Baru, untuk mendiskusikan hasil fotonya dengan Christophe di GFJA Antara dan mengambil ulang bagian-bagian yang belum menampilkan kehangatan keluarga tersebut dan bagiamana Iskandar dan Emi tetap menjalani hidup dan berjuang menafkahi kedua anaknya yang masih kecil dengan menjadi tukang sapu jalanan dan penjahit lepas.

Untuk menyampaikan kisah Iskandar dan Emi lebih dekat, Dwinda mengambil perspektif penceritaan dari sisi Iskandar. “Dengan demikian, saya mencoba agar impact besar yang saya rasakan dari kehidupan keluarga Pak Iskandar juga bisa dilihat, bisa dirasakan oleh mereka yang tidak pernah mengalami hal yang sama dengan keluarga ini,” kata Dwinda.

'The Dead End' karya Rahmad Azhar Hutomo (Dok. Pribadi)
‘The Dead End’ karya Rahmad Azhar Hutomo (Dok. Pribadi)

Lain halnya dengan Hafidz dan Dwinda, Rahmad Azhar menyoroti ironi pembangunan dengan permainan simbol lewat billboard proyek-proyek di sekitar Jakarta dalam karyanya, The Dead End. Gagasannya tentang pembangunan muncul menjadi responsnya sebagai warga Yogyakarta yang melihat kesenjangan pembangunan dan kegagalan pemenuhan kebutuhan lahan hijau di Jakarta.

Alih-alih menangkap gambar para kuli bangunan yang sibuk membangun gedung-gedung pencakar langit di balik papan-papan proyek tersebut, fotografer harian di Majalah National Geographic Indonesia ini menyusun alur photo story dari rangkaian narasi hasil riset dan wawancaranya bersama kepala dinas tata kota Jakarta dengan gambar-gambar utopis yang tercetak di billboard tersebut.

“Memang masih banyak peserta yang mengambil gagasan soal kemiskinan dalam lokakarya kali ini. Namun demikian, hal ini juga menjadi fakta bahwa kemiskinan masih belum lepas dari keseharian di sekitar kita,” kata Oscar. Dengan narasi yang efektif dan pemilihan musik yang mampu menjaga emosi penontonnya, masing-masing peserta lokakarya berhasil menyampaikan tiap pesan lewat rangkaian fotonya.