Project 7 ½, pameran
Karya Irwan & Tita A di pameran "Tale of Two Cities", Arko Art Center, Seoul, Korea Selatan. (Dok. Sunyoung Oh)

Project 7 ½ adalah sebuah proyek yang dimulai pada 2014 dengan mengangkat pertanyaan “What is art?”. Selama tiga tahun perjalanannya, Project 7 ½ mengangkat tema “art and unconsciousness” dan “sense” dengan mengeksekusi pameran site-specific dan ekseperimental di berbagai tempat di Seoul, Korea Selatan. Oleh karena itu, pameran “A Tale of Two Cities: Narrative Archive of Memories” menjadi pameran pertama yang digelar di dalam sebuah museum, yakni Arko Art Center, Seoul, Korea Selatan.

Pameran yang digelar pada 21 Juli – 3 September ini untuk pertama kalinya melibatkan seniman internasional selain seniman Korea, yakni seniman Indonesia. Mereka adalah Bae Younghwan, Sunah Choi, dan Sulki & Min dari Korea, Irwan Ahmett & Tita Salina, Timoteus Anggawan Kusno, Forum Lenteng dari Indonesia.

Pameran ini juga melibatkan arsitek Marco Kusumawijawa dengan Rujak Center for Urban Studies, dan jurnalis Korea Lim Jongup. Secara garis besar, pameran “A Tale of Two Cities: Narrative Archive of Memories” ini melibatkan berbagai individu kreatif, yakni seniman visual, arsitek, jurnalis, dan grup riset urban.

Sebagai kurator pameran sekaligus Project 7 ½, Sunyoung Oh memilih untuk mengundang seniman Indonesia karena persamaan yang dimiliki kedua negara, yakni kemerdekaan pada tahun 1945. Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda pada 17 Agustus 1945, sedangkan Korea merdeka dari penjajahan Jepang pada 15 Agustus 1945.

Pameran
Pameran “Tale of Two Cities”, Arko Art Center, Seoul, Korea Selatan. (Dok. Sunyoung Oh)

“’A Tale of Two Cities: Narrative Archive of Memories’ berangkat dari pengalaman pararel dan pengertian sejarah modern yang secara kebetulan dialami oleh Korea dan Indonesia,” jelas Sunyoung. Mengangkat gagasan tentang kehidupan kedua negara sejak tahun 1945 pameran ini pun mempersembahkan sebuah proyek arsip yang mengumpulkan, mempelajari, dan mendokumentasikan fakta dan cerita yang terlupakan.

Karya yang dipamerkan pun beragam berdasarkan hasil riset para seniman di Korea. Contohnya karya Flower Currency oleh Irwan Ahmett dan Tita Salina. Pasangan seniman ini sebelumnya telah melakukan riset di daerah seperti Ansan dan Cheolwon di Korea dari awal Juli. “Flower Currency memberi kita harapan dengan cara menawarkan sebuah imajinasi akan hubungan dari masa lalu, masa kini, dan masa depan yang tidak pasti yang dipulihkan oleh sekuntum ‘bunga’,” jelas Sunyoung.

Karya yang dikerjakan Irwan dan Tita bersama dengan pekerja imigran Indonesia yang menetap di Korea ini diharapkan setidaknya dapat memberikan sebuah usaha kecil menuju perdamaian. Karya yang berupa bunga putih dalam botol kaca ini juga disertai instalasi video.

Untuk karya Seriality, the Unknown, et cetera, Timoteus Anggawan Kusno mengumpulkan beberapa perspektif dari kenangan Yang Chil-seong yang terlupakan. Yang Chil-seong, atau lebih dikenal dengan nama Komarudin di Indonesia, adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Korea. Kenangan mengenai Yang Chil-seong kebanyakan diilustrasikan sebagai cerita atau surat dalam sebuah novel, sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah cerita tersebut adalah benar mengenai Yang Chil-seong, atau orang lain?

Sama halnya dengan proyek riset Forum Lenteng yang berjudul Ten Years at Java yang mengikuti perspektif Dr. Huyung mengenai sinema, seni, dan budaya, dengan fokus pada awal era kemerdekaan Indonesia. Sama seperti Yang Chil-seong, Dr. Huyung yang memiliki nama asli Hae Yeong adalah kelahiran Korea yang masuk ke Indonesia sebagai tentara Jepang bernama Hinatsu Heitaro. Untuk karya ini Forum Lenteng memilih tiga film yang diproduksi Dr. Huyung dalam rentang 1943-1950, yakni Calling Australia, Berita Film Indonesia No. 3, dan Frieda (dulunya Antara Bumi dan Langit).

Tertempel pada jendela Arko Art Center Seoul adalah karya jurnalis Lim Jongup yang berjudul Seoul is a Fortress. Karya ini merupakan sebuah proyek arsip yang merekonstruksi fakta-fakta yang terfragmentasi melalui reportase berita dan dokumen resmi yang diterbitkan pada rezim Park Chung-hee.

Menurut Jongup, perencanaan kota Seoul saat itu “direncanakan” sebagai persiapan untuk melawan invasi Korea Utara, padahal sebenarnya hanya sebagai alat untuk memperpanjang kediktatoran Park Chung-hee. Hal tersebut dapat terlihat dari arsitektur bangunan yang terkesan “diburu-buru” yang tidak memungkinkan untuk bisa efektif saat keadaan darurat.

Karya Timoteus Anggawan Kusno di pameran
Karya Timoteus Anggawan Kusno di pameran “Tale of Two Cities”, Arko Art Center, Seoul, Korea Selatan.
(Dok. Sunyoung Oh)

Dalam proses pembuatan karya Seoul 1:10,000, Sunah Choi menggunakan peta Seoul yang terbitan 2013, memperbesar 25 distrik (gu) dan area administratif (dong), lalu dicetak pada blueprints berukuran A4. Tidak hanya itu, Choi menggunakan metodologi menghilangkan area-area tertentu di Seoul tempat terjadinya peristiwa penting selama sejarah modern.

“Secara paradoks, dengan menghilangkan dan menyembunyikan, area tersebut menjadi tertegaskan dan terlihat. Ketika seseorang dapat menyadari ketidakhadiran informasi pada peta dengan melihat secara seksama, hal tersebut menjadi plastic form dari kejauhan. Momen inilah saat ‘informasi’ mejadi sebuah ‘gambar’,” jelas Sunyoung.

Pada 1970-an hingga 1980-an, Jongno-gu, Yeji-dong, terkenal dengan toko arloji dan toko perhiasan yang memenuhi lorong tersebut. Sayangnya, karena area tersebut akan terblokir oleh zona pembangunan kembali, banyak toko yang tutup untuk dipindah ke lokasi baru, meninggalkan bangunan kosong dan papan nama tua sebagai kenangan masa lalu. Bae Young-whan mendokumentasikan area ini pada 2017 dalam bentuk fotografi dan video sebagai reinterpretasi lokalitas tempat tersebut.

Young-whan juga menampilkan satu karya yang diciptakannya pada 2016 berjudul Please, Give me Some Water yang berupa sebuah instalasi video yang diambil di area industri Korea, Sewoon Arcade dan Jangsa-dong. Dalam video ini diputar sebuah lagu berjudul Give me Some Water oleh Han Dae Soo dalam albumnya, Long Long Way, yang dilarang oleh pemerintah karena dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Sama halnya dengan maknanya, pemutaran lagu di tempat umum pada periode tertentu ini mengekspresikan kesedihan selama era kediktatoran, yang merupakan salah satu masa kelam Korea.

Karena memiliki status on-going, Sunyoung berharap untuk dapat melanjutkan pameran ini di Galeri Nasional Indonesia tahun depan. “Alasannya karena gedung tersebut (Galeri Nasional) dibangun pada zaman kolonial dan saya ingin memikirkan ‘placeness’ yang dimulai dari menyambungkan sejarahnya dengan seni kontemporer,” ujar Sunyoung.

Artikel Kisah Dua Kota Selepas 1945 dimuat di majalah SARASVATI edisi Agustus 2017