"Rainbow#3", 80x120cm, charcoal & oil on canvas, 2017. (Dok. IBK Sindu Putra)

Ia tidak hanya memuja kecantikan, tetapi sekaligus mengkritisi motivasi eksploitasi terhadap kecantikan itu sendiri. Praktik yang nyatanya telah berlangsung puluhan tahun hingga membentuk identitas budaya Bali yang kita lihat hari ini.

Sederet wajah perempuan Bali itu masih menyisakan pesonanya, meskipun pandangan kita dikecohkan oleh lipatan kusut yang tampak menyelimutinya secara permanen. Dari busana dan aksesori bergaya lawas yang dikenakan, mereka seperti telah melalui lintasan waktu yang panjang. Konon, wajah-wajah itulah yang menjadi cikal bagi citra eksotisme Bali yang kita rengkuh hari ini.

Wajah-wajah tersebut dihadirkan kembali oleh IBK Sindu Putra melalui pameran tunggalnya dengan mengangkat tema “Balinese Face” di Hotel Amandari, Ubud. Dalam pameran yang berlangsung sejak 14 Juli hingga Oktober 2017 itu, 18 lukisan hasil kurasi Made Susanta Dwitanaya ditampilkan oleh perupa lulusan ISI Yogyakarta tersebut. Sebagian besar bertumpu pada foto-foto arsip Bali tempo dulu koleksi Museum Tropen yang terpublikasi di internet.

Berawal dari ketertarikannya pada efek remasan kertas yang secara tidak sengaja ia temukan di foto koran bekas pembungkus, perupa yang lahir tahun 1987 ini kemudian beranjak untuk mengeksplorasi foto-foto lawas dengan efek remasan serupa. Menurutnya, foto-foto kusut itu mencerminkan sebuah ingatan yang terbuang dari linimasa kehidupan manusia.

Sindu menceritakan ketika bergumul dengan foto lawas milik keluarganya, ternyata tidak ditemukan foto masa kecilnya, yang ada hanyalah foto kedua kakaknya. Dari sanalah, ia mulai mencoba melakukan rekonstruksi visual terhadap foto itu dengan menggandakan figur kakak lelakinya, seolah itu adalah dirinya di masa kecil.

“Miror” 120x200cm, charcoal & pastel on canvas, 2017. (Dok. IBK Sindu Putra)

Eksplorasinya kemudian semakin meluas, dari foto arsip keluarga menjadi ke foto arsip yang merekam sejarah perkembangan budaya Bali. “Karena saya lahir dan hidup sebagai orang Bali, maka yang bisa saya ungkapkan adalah budaya Bali,” itulah alasan yang Sindu kemukakan.

Sejak berakhirnya perang Puputan Klungkung pada tahun 1908, Bali menjadi bagian dari wilayah kolonialisme Belanda. Kemudian, berjalanlah politik Baliseering, politik etis yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda untuk membentuk ulang citra dan kebudayaan Bali melalui berbagai metodenya. Salah satunya dengan melakukan berbagai publikasi dalam bentuk catatan antropologis, lukisan, foto, dan film dokumenter yang kemudian membuat banyak orang dari Eropa datang ke Bali yang dicitrakan sebagai pulau surgawi.

Selain panorama alam, yang kemudian melekat adalah tentang eksotisme dan kecantikan perempuan Bali yang terekam dalam foto-foto tersebut. Imaji itulah yang hingga kini terus didaur ulang hingga menjadi mitos, terutama untuk mendorong pesatnya industri pariwisata. Namun ternyata hal tersebut berimbas ke berbagai sisi kehidupan masyarakat Bali secara luas, termasuk dalam budaya dan tradisinya.

Kondisi inilah yang cukup banyak memberi pengaruh terhadap praktik eksplorasi Sindu terhadap foto-foto arsip Bali tempo dulu. Maka tidak mengherankan jika semua figur yang tampil dalam pamerannya kali ini adalah perempuan.

Seperti dalam seri lukisan Myth of Beauty, ia tidak hanya menampilkan kecantikan paras para perempuan yang telah menarik perhatian dunia. Melainkan mereduksinya sebagai sebuah paradoks yang ironis melalui efek remasan kertas pada permukaan karyanya yang tercipta dari goresan arang.

“Myth of beauty#7”, 80×60 cm, charcoal on canvas, 2017, (Dok. IBK Sindu Putra).

Setiap lipatan kusut yang tampak dan membentuk bayangan akan menuntun kita pada sebuah ruang kontemplasi, bahwasanya di balik sisi terang juga senantiasa ada sisi gelap yang membayangi setiap wajah. Sehingga dapat dimaknai bahwa ia tidak hanya memuja kecantikan, tetapi sekaligus mengkritisi motivasi eksploitasi terhadap kecantikan itu sendiri. Praktik yang nyatanya telah berlangsung puluhan tahun hingga membentuk identitas budaya Bali yang kita lihat hari ini.

Selain memberikan efek remasan terhadap foto-foto tersebut, Sindu juga melakukan sejumlah perubahan terhadap arsip yang diperolehnya tersebut. Seperti memotongnya untuk memperoleh close up terhadap figur yang akan dilukisnya, atau menyusun ulang komposisi figurnya dengan menggabungkan beberapa foto melalui olah digital, sebelum mencetaknya dan memberi efek remasan. Dalam seri karyanya yang lain, yaitu Mirror, Sindu nampak melakukan manipulasi untuk menggandakan figur dengan metode refleksi (pencerminan). Sehingga sosok perempuan dalam lukisannya menjadi nampak saling berhadapan. Sebagai seorang pelukis, Ia memang tidak terikat secara baku terhadap foto-foto arsip yang menjadi inspirasi karyanya. Sejauh perubahan yang dilakukannya sejalan dengan bangunan makna yang disusunnya.

Seri lukisan Rainbow menjadi tampak mencolok di antara lukisan lainnya yang murni hitam putih. Dalam seri ini, Sindu memberi efek bias warna transparan di sejumlah sisi karyanya menggunakan pastel. Bukan tanpa maksud ia melakukan hal tersebut. Baginya goresan warna yang membias di wajah perempuan adalah sebuah metafora atas gemerlapnya sensasi yang timbul dalam pembentukan identitas dan budaya Bali saat ini. Sebagaimana diperkuat oleh Susanta dalam catatan kuratorialnya yang menyebutkan bahwa generasi muda saat ini barangkali hanya akan mewarisi keindahan alam dan kebudayaan Bali dalam bentuk nostalgia dan romantika belaka akibat dari perubahan sosial yang terjadi di berbagai sektor kehidupan.

Membawa foto-foto yang memvisualisasikan masa lalu ke hadapan pemirsa yang hidup di masa kini tentu saja akan menimbulkan keberjarakan. Ada banyak hal yang berubah seiring dengan berjalannya waktu, perempuan-perempuan muda dalam foto-foto itu, saat ini tentu sudah lanjut usia, bahkan mungkin di antaranya telah tiada. Tetapi pesona mereka di masa lalu telah membentuk citra Bali dan mengantarnya ke mata dunia.

Menelusuri arsip-arsip itu bukan hanya untuk mengenang masa lalu, namun mencari pijakan untuk melangkah menuju masa depan, sebagaimana yang dilakukan oleh Sindu melalui lukisan-lukisannya. Arsip itu tidak membeku selayaknya benda mati, tetapi dapat digunakan untuk menyusun makna yang baru. Seperti apa yang Sindu katakan, “Foto yang kusut itu seperti ingatan yang terbuang,” dan kita memungutnya kembali.

Artikel Sejumlah Potret dari Masa Lalu dimuat di majalah SARASVATI edisi 2017