Dialog publik sesi satu (kiri-kanan: Adolf Heuken, Dolorosa Sinaga, Romo Mudji Sutrisno, Andra Matin, Nyoman Nuarta, Dr. Oei Hong Djien, Sunaryo, Sarwo Handayani, Agung Hujatnikajenong, Yusra Martunus, Lin Che Wei)

Bangunan di Kota Tua Jakarta merupakan “sebuah moratorium yang indah dari dulu sampai sekarang,” ujar Andra Matin, arsitek Jakarta Contemporary Art Space. Menurutnya, saat ini Kota Tua diisi beberapa lahan kosong yang tidak terisi atau bangunan yang hancur dan buruk. “Jika ada Photoshop dihilangkan saja!” 

Dialog publik sesi satu (kiri-kanan: Adolf Heuken, Dolorosa Sinaga, Romo Mudji Sutrisno, Andra Matin, Nyoman Nuarta, Dr. Oei Hong Djien, Sunaryo, Sarwo Handayani, Agung Hujatnikajenong, Yusra Martunus, Lin Che Wei)
Dialog publik sesi satu (kiri-kanan: Adolf Heuken, Dolorosa Sinaga, Romo Mudji Sutrisno, Andra Matin, Nyoman Nuarta, Dr. Oei Hong Djien, Sunaryo, Sarwo Handayani, Agung Hujatnikajenong, Yusra Martunus, Lin Che Wei)

Ide tersebut dicetuskan pada diskusi publik di lantai dua Kantor Pos Fatahillah Kota Tua, Jakarta, pada 13 Maret 2014. Diskusi ini melibatkan ahli-ahli terkait yang terbagi dalam 6 bahasan panel. Panel pertama membahas peran seni dan arsitektur di ruang-ruang publik di Indonesia.

Pemilik Galeri Selasar Sunaryo di Bandung, Sunaryo, berpendapat bahwa seni sepertinya terpisah padahal terikat dengan revitalisasi. Revitalisasi Kota Tua Jakarta seharusnya tidak mengarah pada satu jenis seni tertentu, haruslah netral. Akan tetapi, tidak semua seniman subjektif; mereka yang terlalu subjektif perlu dikuratori, tetapi seniman yang tidak subjektif bisa bekerjasama dengan arsitek yang lebih pada imajinasi dan konstruksi.

Tanpa perencanaan seperti itu, hasilnya malah akan berantakan dan tanpa nilai estetika. Misalnya seperti patung pahlawan, ungkap Dolorosa Sinaga, pematung senior Indonesia. Beberapa patung pahlawan saat ini diletakkan di jalan, tanpa membuat orang sempat membaca deskripsi serta menikmatinya. Perlu adanya kerjasama dengan institusi yang memiliki visi yang sama untuk membangun revitalisasi.

Berbicara tentang revitalisasi Kota Tua Jakarta, pemerintah provinsi DKI Jakarta, yang dalam diskusi diwakili oleh Deputi Gubernur DKI bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Sarwo Handayani, memberikan dukungan penuh. Pemprov DKI tengah menggalangkan ruang publik yang terdiri dari 20 taman besar serta trotoar dan jalan sepeda. Per tahun dikeluarkan 1 triliun untuk membeli lahan hijau, yang bisa membeli sekitar 25 hektar (mencapai 0,03%). Sementara Pemprov DKI membuat target 30% untuk lahan hijau, baru 10% yang tercapai sampai saat ini.

Sementara untuk trotoar serta fasilitas pejalan kaki, diakui Yusra Martunus masih belum memadai. Seniman yang karyanya juga dipajang di Jakarta Contemporary Art Space ini menyebutkan pengalamannya saat berjalan dari hotelnya di daerah Glodok menuju Taman Fatahillah, yang membuatnya kurang nyaman dalam berjalan kaki.

Hal ini disambung oleh Dolorosa Sinaga, tentang perlunya institusi power (dalam hal ini Pemprov DKI) menata kota. “Ketika kota sudah menjadi tempat tinggal, perlu dibuat tempat masyarakat untuk bersosialisasi,” ujarnya. Begitu juga dengan seniman Romo Mudji Sutrisno, yang menekankan pentingnya harmonisasi antara makan, bernafas, dan bermain dalam sebuah kota.

Revitalisasi Kota Tua, menurut Sunaryo, seharusnya tidak mengarah pada satu jenis seni tertentu, haruslah netral. Menurutnya, perlu adanya keseimbangan faktor lokal dan internasional. Dalam perencanaan Art Space yang terpenting juga sebaiknya tidak melalui tender yang lebih kepada kompetisi. “Build and design lebih penting,” ujarnya. Hal ini pun disetujui oleh Lin Che Wei, CEO JOTRC dan JEFORAH sebagai penggagas revitalisasi Kota Tua, yang mengikutsertakan Teten Masduki sebagai pihak penyeimbang antara swasta dan pihak lokal.

Sementara itu, sebagai kurator, Agung Hujatnikajenong, mengemukakan bahwa saat ini ruang publik sudah terbuka jika ingin menyajikan karya kontemporer. Akan tetapi, yang masih kurang menurutnya adalah bagaimana supaya publik memiliki sense of belonging pada seni. Seorang kurator memiliki tugas untuk mengomunikasikan apa yang seniman lakukan pada publik, tetapi jika sense of belonging rendah, minat terhadap seni akan tetap rendah. Padahal, menurutnya, bukan hanya seniman yang memiliki otoritas dalam menilai karya seni; tetapi juga masyarakat.

Dalam hal ini, Nyoman Nuarta, kreator Garuda Wisnu Kentjana, Bali, yang dalam diskusi ini diwakili oleh Arie Bastaman, mengungkapkan pentingnya edukasi kepada masyarakat luas mengenai seni. Senada dengan Nyoman, Adolf Heuken, sang penulis buku Historical Sites of Jakarta, juga menekankan pentingnya edukasi, terutama bagi sejarah gedung-gedung Jakarta.

“Bagaimana orang Jakarta belajar Jakarta jika tidak ada buku sejarah yang membahas beberapa museum?” ujar pria Jerman mengomentari minimnya edukasi sejarah Jakarta yang berhubungan dengan museum dan gedung-gedung. “Kenapa ini gedung? Kenapa hukuman mati dilakukan di sini?” Menurutnya edukasi sejarah sedari kecil sangatlah penting untuk menumbuhkan rasa cinta kepada kota Jakarta.

Pameran Jakarta Contemporary Art Space masih berlangsung sampai 13 September 2014 di lantai dua Kantor Pos Fatahillah Kota Tua, Jakarta.