Menghimpun Narasi di EYAF

0
2662
Sinwan Aliyafi, EYAF
Sinwan Aliyafi, "Jas Merah", 120 x 90 cm, oil on canvas, 2017. (Dok. Akhmadi)

Menurut pelaku, tradisi minum tuak bisa menciptakan rasa kekeluargaan, setia kawan, toleransi, dan gotong royong, sekaligus mereka menyadari ada sifat boros, minder, dan rasa kurang percaya diri.

Dinamika perkembangan seni rupa sebuah kota atau wilayah tidak lepas dari kehadiran para seniman muda yang mewarnainya. Jawa Timur dengan cakupan wilayahnya yang luas dengan sosio-historisnya yang majemuk, peta seni rupanya tidak bisa dibaca di kota Surabaya dan Malang saja yang relatif mapan infrastruktur seni rupanya.

Kini aktivitas berkesenian di kota Pasuruan, Gresik, Lamongan, Tuban, Banyuwangi dan beberapa kota lainnya menunjukkan peningkatan signifikan. Selain tergabung dalam kantong-kantong seni, para seniman muda di Jawa Timur juga mencipta ruang-ruang alternatif untuk aktivitas berkesenian di kotanya masing-masing.

Baca juga Sinyal yang Hadir Sesekali

Di Surabaya terdapat komunitas Serbuk Kayu, Serikat Mural Surabaya, C2O, Waft Lab, dan Tiada Ruang.  Di Malang ada Poharin Art Space, Semeru Gallery, Pena Hitam,TYAGA, dan SAMIN. Di Pasuruan ada Gang Wolu dan Bolo Kulon; di Tuban ada Pemuda Harapan Kampung dan TUB Graff. Beberapa kota juga bermunculan komunitas-komunitas seni tempat berkumpulnya seniman muda.

Selama ini seniman-seniman muda di Jawa Timur lebih banyak melakukan aktivitas berkesenian di masing-masing kotanya dan jarang ada pameran yang menggalang semua seniman muda dari seluruh kota yang ada di Jawa Timur. Lewat Gelaran East Java Young Artists Festival ( EYAF), Dewan Kesenian Jawa Timur  (DKJT)  berkehendak menjadikan  ajang EYAF sebagai wadah untuk menggalang seniman dari seluruh wilayah Jawa Timur.

Ravi Candra Wicaksana, EYAF
Ravi Candra Wicaksana, “Menjagamu Tumbuh”, spray paint on canvas, 110 x 90cm, 2017. (Dok. Akhmadi)

“Gelaran EYAF juga akan digunakan untuk memetakan potensi dan memperkuat jaringan antarseniman muda seluruh Jawa Timur,” ujar Ketua Komite Seni DKJT Mufi Mubaroh.

Mengusung tema “Narrative Fragments” dengan tim kurator Dwiki Nugroho dan Aditya Nirwana, EYAF dilaksanakan pada 28 November – 2 Desember 2017 di Hotel Bumi Surabaya Resort, Surabaya. Tema “Narrative Fragments” dipilih tim kurator untuk melihat persoalan-persoalan yang dihadapi seniman muda Jawa Timur, baik persoalan internal maupun eksternal, yang dituangkan melalui karya-karya mereka.

Tim kurator menggunakan proses open call untuk menentukan peserta. Terpilih 45 seniman muda berdasarkan pertimbangan  pencapaian artistik dan ide kreatif yang diekspresikan lewat karya mereka.  Karya yang ditampilkan dalam pameran ini menekankan pada karya- karya dua dimensi, yang didominasi lukisan selain drawing  dan karya seni grafis.

Beragam teknik dan gaya mengusung beragam narasi, mulai dari persoalan identitas dan jati diri, ungkapan cinta dan kasih sayang, persoalan pergeseran nilai tradisi dan budaya, persoalan alam dan perubahan lingkungan, hingga persoalan gaya hidup masyarakat.

Baca juga Menekuk Kawat Mengenang Sang Kawan

Persoalan identitas dan jati diri sebagai seorang seniman muda diekspresikan beberapa seniman dalam karya mereka. Nugroho Wikan Noto (Madiun) lewat karyanya bertajuk Golek Gaman menghadirkan dua sosok yang sedang mencari keris. Dia menyorot tantangan yang harus dihadapi seniman di kota Madiun dengan minimnya sarana dan prasana berkesenian.

Dewi Jasmine, EYAF
Dewi Jasmine, “Hingar Bingar”, acrylic on canvas, 110x130cm, 2017. (Dok. Akhmadi)

Hal sama dirasakan Thoriq Al Hanif (Lamongan) yang mengusung karya bertajuk Perlawanan Pukul 12.00, Rodliya Ittabi’ Ulya (Lumajang) dengan karya bertajuk Kehidupan Telah Lelah. Sementara itu Kharisma Adi (Pasuruan) lewat karyanya bertajuk Tertekan Itulah Olahraga yang menghadirkan karya sembilan panel, menghidupkan spirit tak kenal lelah dalam berkesenian.

Baca juga Performativitas Pengetahuan tentang Kota

Kegelisahan yang sama terdapat pula pada Landak karya Bayu Prasetyo (Tuban), Perjalanan Diri karya Rachmawati (Surabaya), Aku di Garis Merah karya Pradika  Lahitama Reffanda (Tulungagung), dan Synergy Konvensional karya Rochmat Jaelani (Malang).

Khotibul Umam (Surabaya) lewat karya drawing-nya bertajuk Mother menekankan pentingnya seniman untuk giat berkarya selagi masih muda agar tidak menyesal di hari tua. Sedangkan Dewi Jasmine (Malang) dengan karyanya bertajuk Hiruk Pikuk menyoroti banyaknya pelaku seni di kotanya namun seakan mengalami kebuntuan dalam menentukan langkah ke depannya mau dibawa ke mana.

Ungkapan perasaan jiwa, ekspresi hati, dan gejolak naluri yang menggelayuti hati seseorang terhadap kekasih, sesama, ataupun orang tua selalu menjadi tema menarik yang diungkapkan seniman dalam karyanya.

Ravi Candra Wicaksana (Lamongan) lewat karya bertajuk Menjagamu Tumbuh mengungkapkan  perasaan kasih sayang dan pengorbanan seorang ibu terhadap anaknya yang tiada batas. Perasaan yang sama digambarkan oleh Ridwan Suwargo (Sidoarjo) dalam karyanya bertajuk Tangan Kanan.

Baca juga Senandung  Alam Imajiner Sang Hening

Sementara itu Happy Wahyu (Lamongan) menghadirkan sosok ibu yang menyusui bayinya dalam karya bertajuk Identitas Nusantara bercerita tentang kecintaan terhadap ibu pertiwi. Sedangkan Desy Dwi Lestari (Malang) lewat karya bertajuk Superman mengekspresikan kebanggaan terhadap sosok ayahnya sebagai nelayan yang berjuang keras demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Happy Wahyu, EYAF
Happy Wahyu, “Identitas Nusantara”, hardboardcut and handcolouring, 2 panel (60×80 cm), 2017. (Dok. Akhmadi)

Upin Arifin (Mojokerto) menggambarkan potret wanita dengan sayap dan bunga di rambutnya  dalam karya bertajuk Angel In My Mind sebagai ungkapan perasaannya atas kehadiran sosok wanita yang memberi semangat dalam hidupnya.

Baca juga 17 Penghibur Tempo Dulu

Beberapa peserta menyoroti persoalan nilai tradisi dan budaya yang mulai tergeser oleh hadirnya budaya luar akibat gencarnya arus globalisasi. Ebby Dwijaya (Probolinggo), seniman muda yang mulai sering mendapat undangan untuk berpameran di mana-mana,  lewat karyanya bertajuk Local Identity seakan mengingatkan betapa pentingnya melestarikan batik sebagai warisan nenek moyang kita.

Pembuatan motif batik selain berdasarkan pertimbangan estetis juga sarat akan makna filosofisnya, menyimbolkan sifat-sifat keluhuran yang berujung pada harapan-harapan bagi pemakainya. Sedangkan Vicky Arisandi (Pamekasan) dengan karya bertajuk Jhe’ Loppa (Jangan Dilupakan)  yang menghadirkan topeng, mencemaskan punahnya tari topeng Gethak, tarian tradisional Madura, tergantikan hiburan modern lainnya.

Kecemasan sama yang dirasakan Agus Teggar Wahyudi (Situbondo) yang melihat kurang pedulinya generasi muda terdapat keberagaman topeng yang ada di Nusantara yang diekspresikan lewat karya bertajuk Menutup Mata Di Balik Keberagaman.

Baca juga Rampak Sekar yang Menyambut Suka Cita

Sinwan Aliyafi (Blitar) lewat karyanya bertajuk Jas Merah mengingatkan generasi muda agar tidak melupakan sejarah. Hal sama dituangkan Aiman Fasha (Surabaya) dalam karya bertajuk Happy Moment.

Sementara itu Damara Destrian lewat karya bertajuk Noto Awak bermedia kain dan benang yang dikerjakan dengan teknik realis, menyoroti  realitas tradisi minum tuak di Tuban. Menurut pelaku, tradisi ini bisa menciptakan rasa kekeluargaan, setia kawan, toleransi dan gotong royong, namun mereka juga menyadari ada sifat boros, minder, dan rasa kurang percaya diri.

Ebby Dwijaya, EYAF
Ebby Dwijaya, Local Identity, cat Akrilik di atas kanvas, 100x120cm, 2015. (Dok. Ebby Dwijaya)

Hanifi S Mahtione (Jombang) dalam karya bertajuk Pay and Play menyoroti pergeseran fungsi media sosial menjadi sarana eksistensi diri dengan mengikuti tren gaya hidup masa kini agar dikenal dan dilihat banyak orang. Hal ini digambarkan dengan menghadirkan dua karakter tokoh rekaan yang mengenakan pakaian trendy sedang memainkan gawai.

Sementara itu Musa As’ Ari (Surabaya) lewat karya bertajuk Termakan Era (zaman) mencemaskan dampak globalisasi yang membuat masyarakat meninggalkan tradisi lokal dan memilih budaya asing yang dipandang lebih maju dan bergaya.

Persoalan alam dan perubahan lingkungan juga menjadi perhatian peserta pameran. Septyan Maulana Fachrizal (Pasuruan) menghadirkan karya bertajuk Hancurnya Populasi sebagai tanggapan atas kecemasan meningkatnya pembangunan dan eksploitasi manusia terhadap alam yang akan berdampak pada kehancuran alam. Kondisi yang sama digambarkan Alif Edi Irmawan (Gresik) dalam karya bertajuk Narasi Hari Ini dan Candra Prasetiyo (Nganjuk) dalam karya bertajuk Santai.

Baca juga Membaca Masa Depan Bambu

Jarot  Hadrian (Surabaya) dalam karyanya Taman Prasejarah mengingatkan kita akan kepunahan binatang  akibat diburu dan kehilangan habitat aslinya. Bayu Saputro (Surabaya) lewat karya bertajuk Berburu Mitos mencemaskan perburuan hiu yang hanya diambil siripnya untuk dikonsumsi, padahal hiu sangat berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem di laut .

Melihat antusiasnya  seniman muda untuk terlibat dalam gelaran EYAF,  ke depannya menurut  Taufik Monyong, EYAF akan dijadikan agenda tahunan dengan tidak saja melibatkan seniman muda perorangan tapi juga menggandeng komunitas-komunitas seni yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Timur.penutup_small

Artikel Menghimpun Narasi di EYAF dimuat di majalah SARASVATI edisi Desember 2017.