B. Dukan Wahyudi , 'Revolusi Sudah Mati Duduk Sama Rendah', Charcoal & Acrylic on canvas, 197cmX145cm, 2013
B. Dukan Wahyudi , 'Revolusi Sudah Mati Duduk Sama Rendah', Charcoal & Acrylic on canvas, 197cmX145cm, 2013
B. Dukan Wahyudi , ‘Revolusi Sudah Mati Duduk Sama Rendah’, Charcoal & Acrylic on canvas, 197cmX145cm, 2013

Selama ini tidak banyak diketahui tentang peta seni rupa di Jawa Timur. Lewat Biennale Jawa Timur, diharapkan publik seni rupa bisa menemukan jawaban tentang identitas seni rupa di wilayah ini.

Jawa Timur sebagai sebuah wilayah didukung beragam corak kebudayaan. Secara kultural Jawa Timur memiliki tiga corak budaya dominan yaitu, budaya Mataraman, budaya Arek, dan budaya Pandalungan. Budaya Arek di wilayah utara mencakup Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban, sementara untuk budaya Mataraman yang dipengaruhi Solo dan Yogyakarta, mencakup Blitar, Tulungagung, Kediri, Ponorogo, Madiun. Untuk budaya Pandalungan dipengaruhi budaya Madura.

Keberagaman corak budaya di Jawa Timur ini makin didukung oleh lingkungan berupa pesisiran, gunung, dan sungai, serta kedekatan Jawa Timur dengan wilayah lainnya seperti Madura, dan Bali. Pengaruh yang menjadikan persilangan atau perpaduan berbagai kebudayaan ini akan menjadi konsep kuratorial berjudul Re-Publik yang diusung Biennale Jatim kelima pada Desember 2013 nanti.

Agus Kucink sebagai kurator yang akan didampingi oleh M. Dwi Marianto dari ISI Yogyakarta akan bertindak sebagai penyeleksi. Berbeda dengan Biennale Jatim sebelumnya yang mengundang 90 seniman dari Jawa Timur, dalam negeri, dan luar negeri, tahun ini Agus Kucink berniat mengundang hanya sekitar 50 seniman. Kepada Sarasvati, Agus menyampaikan rencananya untuk mengundang perupa-perupa Jawa Timur yang berada di luar Jatim semisal seniman yang kini tinggal dan terus berkarya di Bali, Yogyakarta, Bandung, atau Jakarta.

ANDY MISWANDI, Saling Berbagi, 135x170 cm, Acrylic on Canvas, 2013
ANDY MISWANDI, Saling Berbagi, 135×170 cm, Acrylic on Canvas, 2013

Kepada para seniman asal Jatim yang tinggal di luar Jatim, Agus memberikan pertanyaan kuratorial berupa apakah mereka tetap berkarya sebagaimana ketika di Jawa Timur ataukah berbeda? Jika tetap mempertahankan corak seperti semula, kenapa? Jika berubah seiring dengan pergerakan hidupnya, sejauh mana mereka menyerap sekaligus memberi pengaruh pada karya-karya mereka.

Pertanyaan tersebut juga dilontarkan kepada para perupa yang ada di Jawa Timur sendiri. Misalkan kepada para perupa di Tulungagung. Apa respon mereka terhadap modernisme yang mempengaruhi segala sendi kehidupan masyarakat?

Apa ekspresi yang dilontarkan di dalam karya-karya mereka? Ketika memilih jalan seni kontemporer, apa yang tersisa dalam benak mereka ketika melihat tradisi yang seribu tahun telah menjadi fondasi budaya Jawa Timur?

Untuk itu Agus Kucink melakukan tindak kuratorial tidak hanya dengan menghubungi seniman lalu mengirimkan konsep kuratorialnya. Sebagai kurator, Agus Kucink turun ke daerah-daerah menemui masing-masing seniman. Ia melakukan dialog intens dengan seniman mengenai isu-isu yang telah ditetapkan sebagai garis kuratorialnya. Ia turun ke Tulungagung, Jember, Banyuwangi, Malang, Jombang, dan kota-kota di Madura.

“Dengan turun ke daerah bertemu langsung, saya akan tahu persis apa yang dikerjakan para perupa dan menangkap atmosfer yang melingkupi seniman itu,” ujar Agus Kucink pada Sarasvati.

Sebagai kurator, Agus akan mendapatkan banyak dengan turun ke lapangan ini. Selain mendapatkan informasi proses kreatif para seniman, ia juga memantau perkembangan proses kreatif para seniman dari waktu ke waktu. Apakah para seniman menjalankan praktik kontinuitas ataukan diskontinuitas. Kontinuitas berupa bagaimana seniman mempertahankan garis berkaryanya, dan diskontinuitas yang diukur dari perubahan yang dilakukan para seniman.

Menurutnya hal ini penting untuk mengetahui peta seni rupa di Jawa Timur. Di samping itu, Agus Kucink juga berencana untuk membuat buku mengenai peta seni rupa di Jawa Timur sebagai rujukan mengenai seni rupa di Jawa Timur. Sebab selama ini tidak ada rujukan yang memuaskan bagi orang luar Jawa Timur atau bahkan orang Jawa Timur sendiri yang ingin mengetahui apa dan bagaimana seni rupa Jawa Timur itu.

CHOERODIN C.ROADYN, 'The Hotman', 190x140 cm, Oil on Canvas, 2013
CHOERODIN C.ROADYN, ‘The Hotman’, 190×140 cm, Oil on Canvas, 2013

Biennale Jawa Timur memang tidak sekencang biennale di Yogyakarta atau di Jakarta. Banyak persoalan yang muncul ketika membicarakan acara dua tahun ini.

Mulai dari soal pendanaan yang minim dari pemerintah daerah, minimnya sponsor swasta, atau bahkan kosongnya dukungan, hingga karya-karya yang dihasilkan dari Jawa Timur sendiri.

Upaya-upaya yang selalu berulang mengenai siapa dan bagiamana menyelenggarakan Bienal Jawa Timur selalu dilakukan meskipun itu tidak kecil hambatannya.

Namun dari semua rintangan tersebut, Biennale Jawa Timur harus tetap terselenggara karena acara dua tahunan ini akan menjadi patokan untuk mengetahui perkembangan seni rupa Jatim.